BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Istilah “modernisasi”, suatu konsep yang sekeluarga
dengan istilah “pembangunan ekonomi”, tetapi lebih luas jangkauannya,
menunjukkan bahwa perubahan-perubahan teknik, ekonomi dan ekologi berlangsung
dalam keseluruhan jaringan sosial dan kebudayaan. Dalam suatu negara yang
sedang berkembang, menurut Smelser (Ibid.), terdapat
perubahan-perubahan yang besar, (1) dalam bidang politik, sewaktu sistem
kewibawaan suku dan desa yang sederhana itu digantikan dengan sistem-sistem
pemilihan umum, kepartaian, perwakilan, dan birokrasi pegawai negeri; (2) dalam
bidang pendidikan, sewaktu masyarakat berusaha mengurangi kebutahurufan dan
meningkatkan ketrampilan-ketrampilan yang membawa hasil-hasil ekonomi; (3)
dalam bidang religi, sewaktu sistem-sistem kepercayaan sekuler mulai mulai
menggantikan agama-agama tradisionalistis; (4) dalam lingkungan keluarga,
ketika unit-unit hubungan kekeluargaan yang meluas menghilang; (5) dalam
lingkungan stratifikasi, ketika mobilitas geografis dan sosial cenderung untuk
merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah pasti dan turun-temurun.
Satu hal yang menonjol dari
teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur
luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan
sebagai akibat dari masyarakat itu sendiri. Hal asil faktor eksternal menjadi terabaikan. Teori
modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk
kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara lain, tetapi
negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional
dan kemudian melembagakan demokrasi polotik.
Karena
berpatokan dengan perkembangan di Barat, Modernisasi diidentikkan dengan
westernisasi. Teori ini pun kurang
mamapu menjawab masyarakat, sejarah dan tradisi lama
yang masih berkembang Negara Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya muncullah teori
modernisasi baru. Bila dalam teori modernisasi klasik, teori dianggap sebagai
penghalang pembangunan, dalam teori modernisasi baru
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah munculnya teori
modernisasi?
2. Bagaimana ciri – ciri teori
modenisasi itu?
3. Bagaimana aplikasi teori modernisasi
dalam dunia peternakan?
4. Apa dampak positif dan negative
teori ini?
C.
TUJUAN PENULIASAN
1. Mengetahui sejarah munculnya teori
modernisasi
2. Mengetahui ciri – ciri teori
modenisasi
3. Mengetahui aplikasi teori
modernisasi dalam dunia peternakan
4. Mengetahui dampak positif dan
negative teori ini
BAB II
ISI
A.
SEJARAH TEORI MODERNISASI
Teori
modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial barat terhadap apa yang
terjadi di Dunia ketika stelah Perang Dunia II. Teori ini muncul segagai upaya
Amerika untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu
itu populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan
teori ini.
Di awal
perumusannya tahun 1950-an, aliran modernisasi mencari bentuk teori dan
mewarisi pemikiran-pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Teori
evolusi dan fungsionalisme pada waktu itu dianggap mampu menjelaskan proses
peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di Eropa Barat,
selain juga di dukung oleh para pakar yang terdidik dalam alam pemikiran
struktural-fungsionalisme.
Selain itu,
teori modernisasi pun didukung oleh tokoh-tokoh seperti Neil Smelser dengan teori diferensiasi strukturalnya. Smelser
beranggapan dengan proses modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat
yang emnjalankan berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur agar
dapat menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Pun dengan Rostow yang menyatakan bahwa ada lima
tahapan pembangunan ekonomi. Ia merumuskannya ke dalam teori tahapan
pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat tradisional, prakondisi lepas
landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan dan berakhir dengan tahap konsumsi
massal yang tinggi. Di samping itu, ada beberapa varian teori moodernisasi lain
seperti Coleman dengan diferensiasi
dan modernisasi politiknya, Harrod Domar
yang menekankan penyediaan modal untuk investasi pembangunan, McClelland dengan teori Need for Achievement , Weber debgan “Etika Protestan”-nya, Hoselitz yang membahas faktor-faktor
nonekonomi yang ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “faktor kondisi
Lingkungan”, dan Inkeles yang menegmukakan ciri-ciri manusia modern.
Satu hal yang menonjol dari
teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur
luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan
sebagai akibat dari masyarakat itu sendiri. Hal asil faktor eksternal menjadi terabaikan. Teori
modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk
kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara lain, tetapi
negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional
dan kemudian melembagakan demokrasi polotik.
Karena
berpatokan dengan perkembangan di Barat, Modernisasi diidentikkan dengan
westernisasi. Teori ini pun kurang mampu
menjawab kegagalan penerapannya di Amerika Latin, tidak memperhatikan kondisi
okyektif masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih berkembang Negara
Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya muncullah teori modernisasi baru. Bila dalam
teori modernisasi klasik, teori dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam
teori modernisasi baru
B.
CIRI – CIRI TEORI MODERNISASI
Teori ini
didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut modern dan apa yang disebut
tradisional. Yang modern merupakan simbol dari kemajuan, pemikiran yang
rasional, cara kerja yang efisien, dan sebagainya. Masyarakat modern dianggap
sebagai ciri dari masyarakat di negara-negara industri maju. Sebaliknya yang
tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berpikir
yang irrasional serta cara kerja yang tidak effisien. Ini merupakan ciri
masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian di negara-negara
miskin.
Teori
modernisasi didasarkan pada faktor-faktor non material sebagai penyebab
kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Faktor-faktor ini menjelma
dalam alam psikologi individu, atau nilai-nilai kemasyarakatan yang menjadi
orientasi penduduk dalam memberikan arah kepada tingkah-lakunya. Faktor-faktor
non material atau dunia ide ini dianggap sebagai faktor yang mandiri, yang bisa
dipengaruhi secara langsung melalui hubungan dunia ide dengan dunia ide yang
lain. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu cara yang sangat penting
untuk mengubah psikologi seseorang atau nilai-nilai budaya sebuah masyarakat.
Dalam perkembangannya, memang ada teori yang juga menekankan aspek kondisi
material, seperti misalnya teori Hoselitz (yang menekankan pembentukan
lembaga-lembaga yang menunjang proses modernisasi), atau Inkeles dan Smith
(yang menekankan lingkungan kerja sebagai cara untuk menciptakan manusia
modern). Teori-teori seperti ini memang merupakan teori peralihan ke Teori
Struktural, meskipun persoalan yang dibahas berlainan.
Teori modernisasi
biasanya bersifat a-historis. Hukum-hukumnya sering dianggap berlaku secara
universal. Dia dapat diberlakukan tanpa memperhatikan faktor waktu ataupun
faktor tempat. Misalnya tentang prisnsip rasionalitas atau effisiensi. Ada
kecenderungan dari teori-teori ini untuk beranggapan bahwa teori ini dapat
diberlakukan kapan saja dan dimana saja. Konteks masyarakat dan perkembangan
masyarakat tersebut sepanjang sejarah kurang mendapat perhatian. Ada anggapan
bahwa masyarakat bergerak secara garis lurus atau unilinear , dari
sesuatu yang irrasional menjadi rasional. Misalnya, dari masyarakat tradsional
menjadi masyarakat modern. Gejala ini dianggap sebagai suatu yang universal,
yang berlaku di masyarakat manapun, pada segala waktu. Masyarakat yang belum
modern adalah masyarakat yang terbelakang, sesuai dengan perkembangan dalam
garis lurus tersebut. Pada saatnya masyarakat ini akan menjadi modern seperti
yang dialami oleh negara-negara Eropa.
Dengan
demikian, faktor-faktor yang mendorong atau menghambat pembangunan harus dicari
di dalam negara-negara itu sendiri, bukan diluar. Misalnya, kurangnya
pendidikan pada pada sebagian besar penduduknya, adanya nilai-nilai lokal yang
kurang menghargai kekayaan material, dan sebagainya. Faktor-faktor ini adalah
faktor internal.
C.
APLIKASI TEORI DI DUNIA PETERNAKAN
Dalam
penerapan teori modernisasi ini, penulis dimakalah ini membahas tentang
peternakan sapi perah dalam pengembangannya antara tradisional dengan
modernisasi.
Usaha peternakan sapi perah sebagai salah satu jenis
usaha yang erat kaitannya dengan usaha masyarakat desa. Namun, sebelum kita
berbicara lebih jauh mengenai pola peternakan tradisional versus modernisasi
peternakan, perlu di jelaskan sedikit arti kata tradisional dalam dunia
peternakan. Tradisional berarti rendahnya tingkat adopsi teknologi modern yang
ada dalam usaha peternakan atau tidak adanya pengakuan atas teknologi yang
digunakan dalam kegiatan operasional. Mungkin mereka mempunyai alasan sederhana
mengapa tidak menerima teknologi modern yang diperkenalkan oleh para akademisi
dibidang yang berkompeten (misalnya, insinyur peternakan, master, doctoral
bidang peternakan, Profesor). Mereka menganggap bahwa teori hanyalah
pembicaraan yang membosankan dan memiliki banyak sekali perbedaan dengan
aplikasi sebenarnya di lapangan. Mungkin pula mereka lebih mengakui anggapan
seperti ini “kondisi terkadang memaksa kita untuk memperpanjang masa adopsi
terknologi modern yang sesuai dengan tuntutan intensitas dan kualifikasi
peternakan. Padahal sebagai peternak, adopsi secara praktis adalah cara terbaik
buat kami”. Tradisionalisme ini pula yang telah membatasi peternak dalam
mengembangkan pola peternakan mereka. Sehingga kemajuan usaha peternakan
tradisional ini seakan diam di tempat. Pernyataan tersebut dikondisikan
berdasarkan sudut peningkatan jumlah populasi, tingkat produksi, dan yield
milk.
Mereka tetap berada dalam lingkungan persaingan
usaha karena anggapan mereka peternakan tradisional masih cukup menguntungkan
dengan prospek yang menjanjikan. Para peternak merasa sangat yakin sekali bahwa
ternak sehat berarti mereka juga ikut sehat. Ketangguhan tradisionalisme dalam
bersaing dengan modernisasi menjadikan pola ini meregenerasi. Dikatakan tangguh
alasannya bahwa peternakan tradisional tidak kenal dengan istilah gulung tikar.
Pola tradisional yang ada dalam usaha peternakan
sapi perah membuat komunitas peternak (producers) selalu merasa berada
pada level paling bawah dalam ruang lingkup tingkatan usaha peternakan.
Producers adalah istilah yang patut pula mereka miliki karena alasan tersebut
di atas. Kesederhanaan yang mereka miliki saat ini cenderung mengarah pada
tradisi (regenerasi) dengan dunia peternakan masa lalu. Kesederhanaan
tersebut terlihat dari sistem ataupun pola yang ada dan masih tetap
dipertahankan sebagai bentuk livestock culture yang sudah ada sejak lama
atau dengan kata lain regenerasi usaha peternakan tetap konstant. Padahal kalau
kita selami lebih dalam komunitas ini telah memberikan kontribusi yang sangat
besar bagi kemajuan perekonomian secara intern maupun extern.
Kekuatan ekonomi secara intern dapat dilihat dari
kemampuan para peternak dalam mempertahankan tradisi maupun sarana prasarana
peternakan yang mereka miliki dan mereka gunakan. Hasil dari penggunaan
kesederhanaan sarana dan prasarana inilah yang memberikan warna intern dalam
pola kesederhanaan mereka untuk mewujudkan kebahagiaan sebagai bentuk pemenuhan
kebutuhan rumah tangga. Itu semua terjadi sudah sejak lama. Namun pada dasarnya
tradisi itu masih berlaku dikalangan mereka sampai dengan sekarang. Produksi
ternak yang mereka kelola tentu saja bisa dikatakan sebagian besar adalah mata
pencaharian pokok keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga sendiri akan
produksi ternak mereka sering kali sudah dalam bentuk perubahan bentuk hasil
(product) yaitu berupa finansial yang memang dibutuhkan oleh keluarga. Artinya
produksi yang dihasilkan oleh usaha mereka tersebut tidak hanya terbatas pada
pemenuhan kebutuhan keluarga dalam bentuk hasil utama dari produksi ternak,
tapi cenderung produksi ternak-ternak yang mereka kelola memberikan kontribusi
sangat dominan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat luas. Dalam artian bahwa
peternakan yang mereka pertahankan dan kelola masih tidak jauh berbeda dengan
modernisasi peternakan yang sedang tumbuh sekarang. Kalau dilihat dari tujuan
produksi ternak, sebenarnya perbedaannya ada pada penggunaan alat dan sistem
peternakan yang dikelola. Jadi hasil produksi peternakan tradisional ini dapat
kita jabarkan sebagai bentuk extern.
Intensifikasi usaha peternakan sapi perah secara
tradisional tidak perlu kita hanya menutup sebelah mata atau berpangku sebelah
tangan, seolah kita merasa bukan dari sebuah komunitas masyarakat peternak.
Padahal mungkin saja kita adalah salah seorang dari konsumen. Konsumen atau
costumer berarti peranan kita adalah menyambungkan mata rantai komunitas
tersebut jangan sampai terputus. Dapat dilakukan melalui sumbangan-sumbangan
pemikiran yang berwawasan developed profesionalisme. Semua itu adalah
bagian sumbangan yang sangat diharapkan sekali dalam membangun dan memperbaiki
citra peternak tradisional yang ada di negara kita ini.
Antusiasme peternak untuk memajukan usaha peternakan
sapi perahnya adalah bagian mata rantai utama yang harus mendapat perhatian
dari kita sebagai profesionalis muda. Kontribusi guna pencapaian komplektisitas
usahanya itu semakin sangat diperlukan agar mampu mendorong peningkatan pola
pikir komunitas tersebut agar menjadi komunitas yang tahan banting (mampu
bersaing dengan komunitas peternak luar). Walaupun peternakan tradisional yang
ada di negara kita hanya mengandalkan kesederhanaan, namun hal tersebut bukan
menjadi sesuatu yang dapat merendahkan citra. Dengan kesederhanaan peternak
tidak perlu merasa khawatir dalam mengembangkan peternakannya. Semakin lama
pasti akan menemukan beribu pengalaman. Alasannya, butuh tameng berharga dalam
mengatasi berbagai masalah yang ada dalam peternakannya. Dari yang saya lihat
bahwa peternakan tradisional itu bukanlah peternakan rendahan tapi cenderung
peternakan yang mempertahankan pola peternakan tetuanya (sistem regenerasi).
Yield atau hasil yang didapatkan-pun tentunya tidak
lebih besar dibandingkan dengan yield peternakan modern saat ini. Tetapi, jika
kita pantau dan dilihat dari dekat peternakan tradisional itu memiliki
keistimewaan efek komponen yield yang sangat rendah sekali terhadap konsumen.
Misalnya, dengan pola peternakan tradisional sudah tentu penggunaan bahan
tambahan dalam usaha peningkatan produksi jarang atau sama sekali tidak pernah
digunakan, jelas sekali hal inilah yang membuat perbedaan dengan pola
peternakan modern. Dalam pola peternakan modern antusias peternak untuk
meningkatkan yield menjadi terlihat jelas. Bukan berarti mau memberikan
kritikan terhadap modernisasi peternakan, tapi pada saat kita lengah dan
membiarkan modernisasi itu menyerang, maka pada saat itu pula aturan-aturan
baru maupun cara meningkatkan yield akan menjadi bagian terpenting bagi
peternak. Untuk itu, kita harus berani memberikan kritikan baru dengan
prinsip-prinsip kebenaran tentunya dapat memberikan kontribusi istimewa bagi
kemajuan kedua pola peternakan yang ada. Sekali lagi secara pribadi pantas
menanyakan kondisi sebenarnya tentang bagaimana yield terbentuk? Dan dapat
dipastikan bahwa kita akan menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru pula dalam
bentuk pertanyaan dengan penjelasan hasil yang mengkritisi realitas peternakan
tradisional versus peternakan modern. Coba tanyakan pada diri sendiri mengapa
saya begitu percaya akan modernisasi peternakan saat ini, padahal seutuhnya sebagai
professional muda dan konsumen sampai saat ini belum mempunyai andil di
dalamnya? Saya berharap harus dapat memberikan analisis yang mudah dimengerti
karena modernisasi peternakan yang terjadi, yaitu saat modernisasi memang telah
menelanjangi tradisionalisme yang telah saya bangun entah sudah berapa tahun
lamanya. Mungkin begitulah apabila kita mendengar celotehan singkat dari
peternak yang menyadari bahwa produk atau yield milk peternakannya telah
menyumbangkan sebagian dari awal kehancuran pola peternakan tradisional,
padahal sebetulnya tidak perlu adanya imbas sebagai efek samping yang diperoleh
oleh konsumen atau customer product peternakan yang terlanjur telah mengadopsi
modernisasi.
Kenapa kita harus mempertahankan komunitas usaha
peternakan sapi perah tradisional yang ada di negara kita atau dengan kata lain
untuk wilayah-wilayah tertentu yang telah terlanjur melekat dengan citra
peternakan sapi perahnya? Kita perlu memberikan jawaban yang pasti dengan
mengkritisi citra peternakan tradisional itu sebenarnya seperti apa dan
bagaimana seharusnya kalau kita ingin menjadikan peternakan tradisional sebagai
pendukung utama perekonomian negara? Tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan
pengelolaan yang terarah dalam peningkatan komplektisitas peternakan sapi perah
dapat menjadi sumber utama peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan
(komunitas peternak), dan perbaikan komunitas bisnis perdagangan produk olahan
yang bersumber dari sapi perah.
Pada saat kita sadar bahwa sebagai customer
dalam hal ini sebagai konsumen maka komplektisitas usaha ini sepertinya telah
menjadi otak yang benar-benar harus dimatangkan. Mengapa demikian? Mari kita
perjelas sedikit saja, terutama mengenai “tubuh”, salah satunya yang sering
kali menjadi pokok penunjang gerak tubuh, agar kita tetap berjalan sebagaimana
manusia sehat, yaitu pertulangan sehat. Kesehatan menjadi dambaan setiap
insane, karena itu nutrisi dan olah raga yang seimbang akan menjadi bagian
sangat penting guna mendukung proses-proses yang terjadi dalam tubuh dan secara
nyata dalam aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Kenapa pertulangan kita sehat
dan kuat, apakah yakin bahwa kita tidak pernah sama sekali mengkonsumsi susu?
Jawabannya cukup hanya anda saja yang tahu. Kalau saya berpendapat, bahwa
produk peternakan juga ada didalamnya, yaitu susu. Pengecualiannya adalah bayi,
tapi untuk sekarang ini-pun konsumsi susu sapi tidak mutlak bagi orang tua
saja, namun bagi bayi-pun susu sapi sepertinya bukanlah hal yang aneh lagi
(produk olahan susu). Dimana susu telah diproses sedemikian rupa guna memenuhi
kebutuhan sang bayi seperti susu-susu yang telah melalui berbagai proses guna
mempertahankan kualitas, kemudian susu tersebut disulap menjadi produk yang
sangat menggeliatkan hati orang tua, melalui iming-iming label yang ada pada
produk olahan susu, bahwa produk susu ini adalah produk yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan bayinya.
Seperti kebanyakan orang mengatakan bahwa susu yang
sudah menjadi produk olahan susu adalah salah satu jenis sumber penyumbang
nutrisi sebagai asupan nutrisi tambahan dari jenis makanan. Jelas tubuh kita
membutuhkan nutrisi yang seimbang. Berarti sedikit banyaknya asupan produk susu
ke dalam tubuh maka itulah salah satu bentuk ketergantungan kita terhadap
komunitas peternakan. Jelas dan jelas!. Perlu kita sadari sebagian sumber
kehidupan kita (sebagai seorang konsumen) akan sangat berkorelasi dengan nyawa
komunitas peternak. Dan ketertarikan yang sangat besar terhadap salah satu
produk peternakan bararti tidak bisa kita pungkiri lagi. Semuanya telah membuat
kita terus bergairah dalam memberikan kejelasan prospek ke depan khususnya
kondisi dan prioritas dunia peternakan melalui penciptaan kontinuitas konsumsi.
Terlihat jelas bahwa inilah suatu mata rantai yang sangat baik bagi dunia
peternakan karena semuanya itu telah mendapatkan keseimbangan diantara
keduanya, yaitu komunitas peternak dengan komunitas konsumen.
Semakin besarnya persaingan pasar yang kita ciptakan
dengan peternakan luar menuntut kita harus dapat memberikan kontribusi yang
sangat serius agar komplektisitas usaha ini menjadi lebih mantap. Sayang sekali
hal tersebut terbuang begitu saja, karena objek yang dimiliki telah
disia-siakan tanpa kemapanan kita untuk menciptakan sebuah komunitas intern
professional dalam pengembangannya. Saya merasa sadar sekali bahwa wajah
suram yang ada dalam komunitas peternakan kita menjadi kendala besar untuk
mewujudkan persaingan yang mau tidak mau akan dihadapi pada masa-masa sekarang
ini. “Tradisional vs modern” menjadi kata-kata yang sangat menyesakkan bagi
peternak tradisional dan peternak modern.
Komunitas peternak sapi perah, sepertinya terus saja
mencoba untuk meyakinkan dunia konsumen. Mereka berusaha dengan gigih agar
dapat berperan dalam dunia nyata kehidupan manusia seiring dengan perkembangan
maupun kemajuan zaman. Namun, dititik lain tidak sedikit pula bahwa
konsumen-pun masih mengeluh, apa obat terbaik bagi tubuh komunitas peternak?
Ini sepertinya sebuah pertanyaan segar agar mereka dapat menemukan sampai pada
apa yang menjadi kontribusi dari usaha mereka bagi dunia sekitar. Sebagai upaya
menjadikan komunitas yang memiliki nilai luar biasa. Belum adanya komunitas
tersebut untuk meyakinkan konsumen dengan kriteria standarisasi persusuan
market dunia membuat mereka merasa gerah terhadap pertanyaan tersebut. Saya
pikir, keutamaan kita ialah mempertahankan kualitas produk. Karena kualitas
akan menjadi bagian terpenting dalam dunia market. Sedangkan bila bicara
masalah kuantitas, bagi kita sepertinya itu bukanlah menjadi masalah paling
urgent.
Instansi pengolahan produk peternakan sangat menutut
sekali agar komplektisitas susu murni yang dihasilkan oleh peternakan
tradisional mampu meyakinkan dunia market. Komplektisitas disini menjadi bagian
konkret dari upaya improvement on dairy productivity. Instansi
pengolahan produk susu tidak perlu bekerja keras melakukan perbaikan mutu susu
bagi peternakan modern, karena mereka tahu kualitas susu yang dihasilkan oleh
peternakan modern jelas telah mengarah pada peningkatan mutu. Ini jelas berbeda
dengan peternakan tradisional yang ada di negara kita.
Saat ini kualitas produk (susu murni ataupun produk
olahan susu) yang kita miliki bukanlah menjadi hal baru bagi dunia market.
Fokus yang terjadi karena rendahnya kualitas persusuan nasional sepertinya
membuat antusias para konsumen menjadi berkurang. Nyata sekali bahwa kualitas
memegang peranan pokok dalam pola persaingan bisnis yang ada saat ini, baik
dibidang usaha pengembangan peternakannya maupun dibidang hasil peternakan
(misal susu murni cair, dan produk olahan susu). Semua itu tercipta dan
terbukti karena semakin banyaknya produk-produk luar yang mulai merambah market
persusuan Indonesia, mereka tidak segan-segan melampirkan iming-iming luar
biasa (promosi) yang benar-benar dapat meyakinkan konsumen. Sistem promosi
tersebut menyiratkan pada kita bahwa inilah wajah industri peternakan atau
wajah peternakan yang ada di negara ini, ketinggalan sudah bukan menjadi
masalah baru.
Solusi dari persaingan pola-pola peternakan yang
dimiliki saat ini mencitrakan bahwa keuletan dan ketangguhan para peternak
perlu diciptakan guna menekan persaingan yang membuat peternakan tradisional
selalu berada di bawah. Memang menjadi hal tersulit bagi peternak maupun pelaku
bisnis untuk mengangkat citra komunitas peternakan tradisional, karena
kenyataannya inilah peternakan tradisional yang kita miliki.
Jadi, penyelamatan dunia peternakan akan semakin
terbuka apabila kita memang memiliki kekuatan dan keuletan untuk meningkatkan
kualitas produk dalam negeri. Itulah sebenarnya sebagian dari cara kita untuk addeted
and complex process agar diperoleh kemajuan dalam upaya pengembangan usaha
peternakan. Kemudian dengan sendirinya titik terang akan berada dibagian usaha
peternakan tradisional. Sebagai seorang insinyur tentu saja tidak mengharapkan
dunia peternakan yang ada di negara ini menjadi bagian yang sangat terpuruk,
seakan-akan konsumen tidak pernah merasa adanya kaitan dengan hal tersebut.
Saya pikir kita semua berharap sekali bahwa jangan sampai ada komunitas
peternakan sapi perah yang beralih profesi. Karena beralihnya profesi berarti
beralih pula kemampuan dan regenerasi usaha yang dimiliki. Kenapa demikian?
Karena untuk membangun keahlian baru akan menjadi sangat sulit apalagi semua
itu bisa menurunkan minat dan kemampuan terhadap usaha peternakannya sendiri.
D.
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF TEORI
MODERNISASI
v Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan
Sikap
Adanya modernisasi
dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan
sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi
Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah
dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih
Baik
Dibukanya
industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih
merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
v Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi
dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan
industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah.
Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak
pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat
merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi
membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa
mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua
budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua,
kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam
suatu komunitas masyarakat
hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi
dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara
individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Teori modernisasi lahir
sebagai tanggapan ilmuwan sosial barat terhadap apa yang terjadi di Dunia
ketika stelah Perang Dunia II. Teori ini muncul segagai upaya Amerika untuk
memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu populer.
Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini. Teori ini dapat melahirkn dampak
postif dan negative dalam pengaplikasian di dalam dunia peternakan. Untuk dapat
mengetahui dampak tersebut maka dari itu adanya perbandingan antara cara
tradisional dan modernisasi dalam bidang peternakan.
B.
SARAN
Kami berharap selaku pemakalah
tentang teori modernisasi agar pembaca dapat mengetahui aplikasi teori
modernisasi dalam dunia peternakan dan mengetahui danpak positif dan negative
teori ini.
DAFTAR PUSTAKA
Afand. 2009. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi
dan Modernisasi http://afand.abatasa.com/post/detail/2761/dampak-positif-dan dampaknegatif--globalisasi-dan-modernisasi. Diakses pada
hari Sabtu, 21 April 2012.
Anonim
. 2012 . Modernisasi . http://id.wikipedia.org/wiki/Modernisasi
. Diakses pada hari Sabtu, 21 April
2012.
Schoorl, J.W. 1980. “Modernisasi: Pengantar Sosiologi
Pembangunan Negara negara sedang
Berkembang”. PT. Gramedia. Jakarta.
Singgih
Ujianto. 2009.Teori Modernisasi dan
Ketergantungan. http://ujiantosinggih.com/
teoriteorisosial/teori-modernisasi - dan ketergantungan.html. Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
Yudimasmi. 2008. Pola
Peternakan Tradisional versus Modernisasi.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi Dinamika
Pertumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Wintrianto.
2010. Dampak Modernisasi Terhadap Masyarakat Pedesaan. http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/08/dampak-modernisasi-terhadap masyarakat-pedesaan/comment-page-1/. Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar