Selasa, 31 Desember 2013

PEMBANGUNAN BUDAYA MARITIM INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang- kurangnya meliputi tujuh unsur umum cultural universal), yakni pengertahuan (cognitif/ideationa/mental materia), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, kesenian, religi, dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/ rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan,nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem social (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/ teknologi. Sistem budaya yang terkristalisasi menjadi sistim nilai budaya merupakan pedoman/acuan (preference/dominant ) bagi sitem sosial dan sistem alatperalatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadiprasyarat/penentu (determinat) terhadap sistem budaya. Adapun sistemsosial merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya danpenerapan sistem alat/peralatan.dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilaibudaya bahari yang dianggap potensial untuk direvitalisasi dandikembangkan kedepan sebagai landasan pembangunan budaya bahari diindonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan normabudaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) seperti dibawah ini :
• Komunalisme
• Arif lingkungan
• Berkehidupan bersama/kolektifitas
• Egalitarian
• Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya
• Saling mempercayai
• Patuh/taat norma
• Bertanggung jawab
• Disiplin
• Kreatif-inovatif 
• Teguh pendirian
• Kepetualangan
• Berani mengambil resiko
• Adaptif dan kompetitif 
• Berwawasan kelautan dan kepulauan
• Multikulturalis
• Nasionalis
• Berpandangan dunia/keterbukaan
Bagi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, lautmerupakan aset yang sangat berharga dan harus dikelola dengan dijaga,dimanfaatkan dan dilestarikan secara sungguh-sungguh. Dalam laut, di dasar laut serta tanah dibawahnya terkandung potensi sumberdaya baik hayatimaupun non hayati yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.Laut memiliki nilai ekonomik yang “tangible “ maupun yang“intangible”.
1) Berbagai sektor kelautan yang memiliki nilai ekonomik yang tangibleantara lain:
a) Perikanan. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia lebihdari 6 juta ton per tahun yang tersebar pada sembilan wilayahperikanan ikan. Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 80% nya.
b) Pelayaran. Pelayaran merupakan sistem yang meliputi: perkapalan, kepelabuhanan,
c) Penambangan lepas pantai
d) Kesehatan dan biodiversitas 2 Wisata bahari.
2) Nilai ekonomil lainnya adalah penyerapan tenaga kerja. Dengan laju pertambahan penduduk seperti yang sekarang, laju pertambahan angkatan kerja lebih cepat dibandingkan dengan laju pertambahan lapangan kerja. Hal ini antara lain disebabkan karena makin sulit mengharapkan mengembangkan pertanian untuk menyerap tambahan angkatan kerja
.3) Nilai yang intangible antara lain:
a) Pengendalian cuaca.
b) Habitat laut
c) Hubungan internasional.
Sementara itu, sesuai dengan tuntutan kebutuhan, peraturan perundang undangan /ordonansi yang mengatur laut atau berkaitan dengan laut tetap diberlakukan dengan atau tanpa perubahan.Misalnya Ordonansi Laut Undang-undang tentang Kelautan disusun berdasarkan pada asas-asas: kedaulatan, tanggung-jawab negara,  pembangunan berkelanjutan, keterpaduan, ekologis, kehati-hatian , prioritas, kepentingan nasional, kerakyatan dan berkeadilan dengan tujuan:
a) Mewujudkan negara kelautan dan maritim yang maju, aman dansejahtera.
b) Menciptakan laut yang lestari, aman, serta teridentifikasi sumberdayalautnya, dalam yurisdiksi nasional dan diluar yurisdiksi nasional.
c) Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan kekayaan laut dalamyurisdksi Negara Kesatuan Republik Indonesia , laut lepas dan dasar samudera dalam, secara berkelanjutan sebesar-besarnya bagi generasisekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang.
d) Menciptakan sumberdaya manusia kelautan yang profesional,beretika, berdedikasi, dan mampu mendukung pembangunan kelautansecara optimal dan terpadu.
e) Membentuk pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional (oceans governance).
f) Mengembangkan budaya dan atau pengetahuan kebaharian bagi masyarakat untuk menumbuhkan pembangunan yang berorientasi kelautan.



 
BAB II
I S I

Masyarakat bahari dimaksudkan sebagai, mereka yang mendiami wilayah pesisir atau pulau-pulau dan memanfaatkan sumber daya kelautan atau sumberdaya bahari dalam rangka interaksi sosialnya dalam jangka waktu lama dan telah membentuk kehidupan bersama yang serasi dan telah mewujudkan ”rasa kita” (we-feeling ) diantara mereka. ”rasa kita” (we-feeling ) itu, terwujud dalam interaksi mereka dalam mengambil peranan (role-taking ) secara teratur dan rasa saling bergantung ( defendency-feeling ) satu sama lain (Sallatang, et.al, 1999). Kompleksitas fenomena sosial budaya, terutama berkaitan dengan beragamnya kelompok dan kategori sosial terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut serta beragamnya sektor mata pencaharian terkait laut akibat modernisasi yang berkembang menjadi alasan lebih cocok memilih terminologi ‘budaya bahari’daripada terminologi-terminologi ‘budaya maritim’ dan ‘budaya marin’ dalam melihat pengaruh keterhubungan budaya lokal terhadap formasi sosial baru masyarakat yang terbentuk akibat modernisasi. Dalam sistem budaya bahari terdiri dari unsur-unsur sistem seperti; pengetahuan, gagasan, keyakinan /kepercayaan, nilai, dan norma/ aturan dan pengenalan lingkungan sosialnya berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya dan jasa - jasa laut. Unsur - unsur sistem tersebut menjadi regulator masyarakat bahari dan dilain pihak, masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada budaya bahari. Keterhubungan antara informasi budaya bahari dan penguatan energi dalam sistem social masyarakat, akan menyebabkan masyarakat bahari di satu pihak membentuk kepribadian, watak atau jiwa bahari individu angggota-anggotanya dan dilain pihak, individu anggota masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada masyarakat bahar. Berkaitan dengan itu, masyarakat nelayan suku bangsa Bugis danMakassar, dalam tulisannya menggambarkan orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pantai dan pulau-pulau kecil, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini, mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh dilaut. Orang Bugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di Nusantara ini yang telah mengembangkan suatu kebudayaan bahari sejak beberapa abad yang lalu. Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, ciptaan perahu layar yang terkenal seperti tipe ‘Pinisi’ dan ‘Lambo’ telah teruji kemampuannya mengarungi perairan Nusantara bahkan sampai ke Srilangka dan Philipina untuk ‘berdagang’. Kemampuan berlayar dengan teknologi pelayaran yang dimiliki itu, telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran, seperti “  Ade alloppiloping Bicaranna PabbaluE” yang tertulis pada lontarak oleh Amanna Gappa ” dalam abad ke-17. Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas, bahwa masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Strategi adaptasi yang menjadi bagian budaya bahari mayarakat nelayan Bugis-Makassar berkenaan dengan kehidupan mereka, dapat dilihat dalam konteks nilai-nilai, ideologi dan teknologi. Hal yang berhubungan dengan masalah nilai dapat terlihat pada penekanan pada sifat egalitarian, aturan bagi hasil, pengaturan hak-hak pemilikan, prinsip yang mendasari adanya kerjasama dan adanya pengerahan tenaga kerja. Strategi yang berhubungan dengan masalah ideologi dapat dilihat pada adanya berbagai macam ritual, magis dan kepercayaan yang berhubungan dengan aktivitas kelautan. Sedangkan strategi nelayan yang berhubungan dengan teknologi dapat dijumpai pada adanya berbagai macamalat tangkap dan mobilitas yang dilakukan. Salah satu bukti sejarah dari jiwa bahari nelayan suku Bugis dan Makassar adalah adanya mobilitas yang tinggi sebagai spirit untuk berusaha. Konteks itu terekam dalam pengaruh kebudayaan Bugis-Makassar di pantai utara Australia. Disebutkan bahwa para nelayan Bugis dan Makassar secara teratur berlayar ke perairan tersebut (Pantai Marege), setidaknya sejak tahun 1650 (masa Kerajaan Gowa di Makasar). Mereka berlayar dalam bentuk armada perahu berjumlah 30 sampai 60 perahu, dan masing-masing memuat sampai 30 orang untuk mencari ikan teripang. Para nelayan suku Bugis-Makassar diyakini senang berpetualang mencari daerah-daerah baru penangkapan, para nelayan ikan teripang itu membangun rumah-rumah sementara, menggali sumur dan menanam pohon-pohon asam di sana. Banyak orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan teripang tersebut, mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau, membuat gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan 'meminjam' beberapa kisah yang mereka ceritakan. Beberapa orang Aborijin ikut berlayar pada saat mereka pulang ke Sulawesi, dan kembali ke Australia pada musim monsun berikutnya, bahkan beberapa di antaranya ada yang menetap di Sulawesi. Sampai saat ini, pengaruh orang Bugis dan Makasar dapat dilihat dalam bahasa dan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang suku Aborijin di Australia. Oleh karena itu, aspek nilai budaya bahari nelayan Bugis-Makassar menjadi salah satu aspek yang akan dilihat dalam konteks budaya lokal, sehubungan dengan terjadinya dualisme yang mentrasisi dinamika perubahan sosial masyarakat nelayan melalui pengetahuan dan teknologi tradisional di satu pihak dan pengetahuan dan teknologi modern pada pihak yang lain, sehingga konteks nilai budaya local ini diduga akan mempunyai pengaruh tehadap formasi sosial baru masyarakat nelayan yang terbentuk akibat modernisasi. Asumsi ini lahir dari pemikiran kalangan Neo-Marx tentang kapitalisasi dengan teori artikulasinya bahwa, kapitalisasi di negara berkembang diyakini tidak akan sama”modelnya” dengan kapitalisasi yang telah terjadi di negara Eropa, hal ini disebabkan karena adanya resistensi tatanan lokal yang ikut mewarnai proses tersebut, sehingga kapitalisme yang terbentuk akan memiliki karakter dan ciri tersendiri berdasarkan pengaruh kontekstual tingkat lokal. Oleh karena itu struktur sosial masyarakat itu terdiri dari elemen-elemen yang tidak masif, sehingga kombinasi modes of  production  dalam suatu social formation itulah yang menentukan karakteristikmasyarakat, yang berkembang dalam waktu dan tempat.
Sebagai sebuah negara maritim Indonesia memiliki nilai strategis yang memperoleh pengakuan dari dunia internasional. Pada konsep hukum laut yang kita anut ada 3 aspek pengembangan yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan bagi kelautan Indonesia, yaitu aspek ekonomi berupa hak untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi hasil-hasil kelautan,aspek ekologi yaitu upaya pelestarian dan pengelolaan potensi laut, aspek sosial budaya pelestarian budaya bahari. Ketiga aspek ini menjadi sangat penting dan memerlukan dukungan ilmu dan teknologi yang saat ini masih merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah jika benar-benar serius ingin memajukan kelautan Indonesia. Akan tetapi pada perkembangannya terjadi perubahan paradigma serta pola pikir pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam memandang wilayah kelautan Indonesia hingga berimbas pada terabaikannya potensi kelautan. Hal ini juga disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme serta kecintaan akan budaya kelautan bangsa Indonesia, hingga laut Indonesia seolah-olah hanya menjadi halaman belakang dari negeri ini. Ketidaktahuan kita terhadap budaya maritim serta pergeseran paradigma dalam memandang wilayah kelautan di Indonesia juga berdampak pada eksistensi pulau-pulau terluar yang berada di sekeliling wilayah perairan kita. Kasus Sipadan Ligitan adalah contoh konkrit dari lemahnya pengawalan serta kewaspadaan kita dalam menjaga kedaulatan negara kepulauan kita. Selanjutnya ini menjadi home work bagi pemerintah dan generasi muda yang masih concern untuk mencegah kasus serupa terjadi yang mengancam kedaulatan negara. Di sinilah letak pentingnya revitalisasi kembali budaya maritim dengan mengembalikan konsep sosial budaya laut sebagaipemersatu Nusantara.Dalam sistem budaya bahari terdiri dari unsur-unsur sistem seperti; pengetahuan, gagasan, keyakinan/kepercayaan, nilai, dan norma/aturan danpengenalan lingkungan sosialnya berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Unsur-unsur sistem tersebut menjadi regulator masyarakat bahari dan dilain pihak, masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada budaya bahari. Keterhubungan antara informasi budaya bahari dan penguatan energi dalam sistem social masyarakat, akan menyebabkan masyarakat bahari di satu pihak membentuk kepribadian, watak atau jiwa bahari individu angggota-anggotanya dan di lain pihak, individu anggota masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada masyarakat bahari. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/ rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral,perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/ teknologi. Sistem budaya yang terkristalisasi menjadi sistim nilai budaya merupakan pedoman/acuan ( preference/dominant ) bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi prasyarat/ penentu (determinat) terhadap sistem budaya. Adapun sistem sosial merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan sistemalat/ peralatan.dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya bahari yang dianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan kedepan sebagai landasan pembangunan budaya bahari di indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) seperti dibawah ini  :
• Komunalisme
• Arif lingkungan
• Berkehidupan bersama/kolektifitas
• Egalitarian
• Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya
• Saling mempercayai
• Patuh/taat norma
• Bertanggung jawab
• Disiplin
• Kreatif-inovatif 
• Teguh pendirian
• Kepetualangan
• Berani mengambil resiko
• Adaptif dan kompetitif 
• Berwawasan kelautan dan kepulauan
• Multikulturalis
• Nasionalis
• Berpandangan dunia/ keterbukaan
Bagi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, laut merupakan aset yang sangat berharga dan harus dikelola dengan dijaga, dimanfaatkan dan dilestarikan secara sungguh-sungguh. Dalam laut, di dasar laut serta tanah dibawahnya terkandung potensi sumberdaya baik hayati maupun non hayati yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Potensi kelautan yang mampu dikelola indonesia secara maksimal saat ini masih berada pada wilayah laut teritorial sedangkan di wilayah Zona Ekslusif dan perairan pedalaman belum terkelola secara maksimal. Kenyataan ini juga bisa di lihat pada pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk wilayah perairan yang seharusnya berpijak padarealitas geografis negara kepulauan hal ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya kelautan. Bisnis kelautan masih kurang berkembang sesuai potensi besar yang di miliki oleh laut Indonesia. Adalah sebuah pemandangan yang ironis di tengah kenyataan kita sebagai negara maritime yang besar, justru kebanggaan serta upaya untuk meningkatkan potensi tersebut belum maksimal. Hal ini juga terlihat dari belum sejahteranya masyarakat pesisir sebagai komunitas pertama yang seharusnya merasakan kekayaan sumber daya kelautan kita. Masalah kemiskinan adalah akumulasi dari kompleksitas dari permasalahan di wilayah pesisir yang di sebabkan oleh rendahnyapendidikan serta gaya hidup konsumtif masyarakat pesisir. Kebijakan yang dibuat untuk wilayah perairan kita terkesan tidak utuh dan terintegritas akibatnya kantong-kantong kemiskinan di negeri ini justru banyak di dapati pada wilayah pesisir. Selama ini masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar wilayah perairan kita masih memiliki serta memegang teguh budaya bahari serta kearifan lokal dalam mengelola potensi kelautan. Sosiologi budaya pesisir lebih berbasis pada sektor budaya yang menjadi potret dualisme masyarakatkita antara budaya agraris dan budaya maritim, hanya saja dalam perkembangannya budaya ini mulai tergerus oleh pengaruh globalisasi, hingga kecenderungan yang tersisa sekarang pada budaya bahari adalah ritual-ritual yang hanya dijalankan oleh sebagian kelompok tanpa apresiasi berarti dari pihak pemerintah dan masyarakat Indonesia yang notabene jugasebagai bagian dari negara maritim yang besar ini. Adalah tantangan terbesar kita saat ini untuk kembali mengembalikan citra negara maritim yang sampai saat ini kita miliki tapi kurang menjadi perhatian kita. Serta pentingnya komitmen & sinergi antara pemerintah & masyarakat untuk memperkenalkan kembali konsep negara maritim dibarengi dengan rencana pembangunan berkelanjutan terhadap pengelolaan potensi yang terdapat di wilayah perairan kita lingkungan lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan . Penataan ruang laut berfungsi sebagai pemersatu dan pengikat wilayah nasional yang berasaskan pemanfaatan ruang bagisemua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Penataan ruang laut berdasarkan nilai fungsi kawasan serta aspek kegiatan meliputi antara lain : pelayaran, perikanan, pariwisata laut, pertambangan dilaut, penegakan hukum di laut, pelaksanaan otonomi daerah, dan kegiatanlain yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam di laut, penelitian dan pelestarian lingkungan laut. Dalam pemanfaatan dan pendayagunaan laut, Laut memiliki berbagai fungsi:
a.       Laut sebagai sumber Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia. Didalamlaut tumbuh dan dapat ditumbuhkan berbagai sumber-sumber bahanpemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama pangan, seperti ikan danbiota perairan lainnya.
b.      Laut sebagai Sumber Bahan Dasar dan Sumber Energi. Pada dasar laut dan di bawah laut tertentu berbagai mineral yang dapat ditambang untuk digunakan sebagai bahan baku industri dan sebagai sumber energi.
c.       Laut sebagai medan industri.
Tersimpul pada kedua hal tersebut diatas, laut juga merupakan medan kegiatan industri , baik secara langsung seperti pelayaran, pertambangan lepas pantai, maupun secara tidak langsung seperti proses bahan makanan, industri galangan kapal, industri alat-alat pertambangan lepas pantai dll. Perikanan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan , kelestarian, dan kesetersediaan sumber daya ikan.Dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan perikanan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan cara sbb:
a. berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya yang berkelanjutan, dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja, peningkatan taraf hidup bagi nelayan dan peningkatan penerimaan dan devisa negara. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan dibidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya.
c. Pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemenrintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan , yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan seta pengendalian yang terpadu. Pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan. Keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumberdaya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Kepariwisataan mempunyai peranan penting untuk memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional, serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional. Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat,usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada diri sendiri. Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan: memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; memupuk rasa cintatanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; mendorong pendayabunaan produksi nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki potensi kekayaan dan keindahan laut yang diminati oleh wisatawan dalam dan luar negeri, serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Wisata laut meliputi : menyelam, berselancar, berlayar pesiar, bermain jet ski, berselancar angin, serta mengunjungi resort-resort yang tersedia di pulau-pulau. Pemerintah wajib mengatur pemanfaatan dan pengelolaan berdasarkan tata ruang wilayah dan dilaksanakan dengan asas kelestarian, berkelanjutan, keterpaduan, keterpeliharaan, dan memperhatikan aspek ekologis kawasan serta melibatkan peran serta masyarakat adat, masyarakat lokal dan masyarakat pesisir sebagai pemangku kepentingan.

  

                                                                                BAB IV

                                                                              PENUTUP

4. 1 Kesimpulan


Masyarakat bahari dimaksudkan sebagai, mereka yang mendiami wilayah pesisir atau pulau-pulau dan memanfaatkan sumberdaya kelautan atau sumberdaya bahari dalam rangka interaksi sosialnya dalam jangka waktu lama dan telah membentuk kehidupan bersama yang serasi dan telah mewujudkan ”rasa kita” (we-feeling) diantara mereka. ”rasa kita” (we-feeling) itu, terwujud dalam interaksi mereka dalam mengambil peranan (role-taking) secara teratur dan rasa saling bergantung (defendency-feeling) satu sama lain. Kompleksitas fenomena sosial budaya, terutama berkaitan dengan beragamnya kelompok dan kategori sosial terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut serta beragamnya sektor mata pencaharian terkait laut akibat modernisasi yang berkembang menjadi alasan lebih cocok memilih terminologi ‘budaya bahari’ daripada terminologi-terminologi ‘budaya maritim’ dan ‘budaya marin’ dalam melihat pengaruh keterhubungan budaya lokal terhadap formasi sosial baru masyarakat yang terbentuk akibat modernisasi. Dalam sistem budaya bahari terdiri dari unsur-unsur sistem seperti; pengetahuan, gagasan, keyakinan/ kepercayaan, nilai, dan norma/ aturan dan pengenalan lingkungan sosialnya berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Unsur-unsur sistem tersebut menjadi regulator masyarakat bahari dan dilain pihak, masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada budaya bahari. Keterhubungan antara informasi budaya bahari dan penguatan energi dalam sistem social masyarakat, akan menyebabkan masyarakat bahari di satu pihak membentuk kepribadian, watak atau jiwa bahari individu angggota-anggotanya dan dilain pihak, individu anggota masyarakat bahari mendukung dan memberikan energi kepada masyarakat bahari. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/ rupa, yakni sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain), sistem social (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/ teknologi. Sistem budaya yang terkristalisasi menjadi sistim nilai budaya merupakan pedoman/acuan ( preference/dominant ) bagi sistem social dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan sistemsosial menjadi prasyarat/ penentu (determinat) terhadap system budaya. Adapun sistem sosial merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan sistem alat/ peralatan.dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya bahari yangdianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan kedepan sebagai landasan pembangunan budaya bahari di indonesia padasegala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) seperti dibawah ini :
• Komunalisme
• Arif lingkungan
• Berkehidupan bersama/kolektifitas
• Egalitarian  
• Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya
• Saling mempercayai
• Patuh/taat norma
• Bertanggung jawab
• Disiplin
• Kreatif-inovatif 
• Teguh pendirian
• Kepetualangan
• Berani mengambil resiko
• Adaptif dan kompetitif 
• Berwawasan kelautan dan kepulauan
• Multikulturalis
• Nasionalis
• Berpandangan dunia/ keterbukaan
Bagi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, laut merupakan aset yang sangat berharga dan harus dikelola dengan dijaga, dimanfaatkan dan dilestarikan secara sungguh-sungguh. Dalam laut, di dasar laut serta tanah dibawahnya terkandung potensisum berdaya baik hayati maupun non hayati yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan perikanan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan cara sbb:
a.       berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,
efisiensi dan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya yang berkelanjutan, dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja, peningkatan taraf hidup bagi nelayan dan peningkatan penerimaan dan devisa negara. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan dibidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
b.      pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsipperencanaan dan keterpaduan
pengendaliannya.
c.       Pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara
Pemenrintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan ,yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan seta pengendalian yang terpadu. Pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan.

4.2 Saran

Melihat keadaan yang terlihat, diharapkan revitalisasi disektor bahari dan pengembangannya dapat didukung oleh seluruh kalangan masyarakat dan pemerintah menyediakan dan membangunan sarana- sarana yang mendukung kegiatan revitalisasi ini , dan terus diupayakan terutama didaerah - daerah terpencil. Selain itu diharapkan kepada masyarakat luas agar menggunakan produk dalam negeri terutama produk-produk sektor kelautan sehingga dapat memberian pemasukan yang besar bagi negara begitu juga dengan taraf hidup nelayan dan pelayar di negeri kita.
  



DAFTAR PUSTAKA



Aliamsyah . 2008. Naskah_akademik .www.legalitas.org Di akses pada tanggal 29            april  2012.

Anonim . 2008. Indonesia Negara Maritim Terbesar Di Dunia .www.nationalintegrationmovement.org Di akses pada tanggal 29 april  2012.

Arief Adhi A .2008. Budaya bahari sebagai budaya lokal masyarakat Nelayan bugis-makassar 
. adri_arief@yahoo.com Di akses pada tanggal 29 april  2012.

Lampe Munsi. 2009. Wawasan Sosial Budaya Bahari. Makassar : UPT MKU Universitas Hasanuddin














Read More ->>

APLIKASI TEORI MODERNISASI DIBIDANG PETERNAKAN

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Istilah “modernisasi”, suatu konsep yang sekeluarga dengan istilah “pembangunan ekonomi”, tetapi lebih luas jangkauannya, menunjukkan bahwa perubahan-perubahan teknik, ekonomi dan ekologi berlangsung dalam keseluruhan jaringan sosial dan kebudayaan. Dalam suatu negara yang sedang berkembang, menurut Smelser (Ibid.), terdapat perubahan-perubahan yang besar, (1) dalam bidang politik, sewaktu sistem kewibawaan suku dan desa yang sederhana itu digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, kepartaian, perwakilan, dan birokrasi pegawai negeri; (2) dalam bidang pendidikan, sewaktu masyarakat berusaha mengurangi kebutahurufan dan meningkatkan ketrampilan-ketrampilan yang membawa hasil-hasil ekonomi; (3) dalam bidang religi, sewaktu sistem-sistem kepercayaan sekuler mulai mulai menggantikan agama-agama tradisionalistis; (4) dalam lingkungan keluarga, ketika unit-unit hubungan kekeluargaan yang meluas menghilang; (5) dalam lingkungan stratifikasi, ketika mobilitas geografis dan sosial cenderung untuk merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah pasti dan turun-temurun.
Satu hal yang menonjol dari teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari masyarakat itu sendiri. Hal asil faktor  eksternal menjadi terabaikan. Teori modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara lain, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi polotik.
Karena berpatokan dengan perkembangan di Barat, Modernisasi diidentikkan dengan westernisasi.  Teori ini pun kurang mamapu menjawab  masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih berkembang Negara Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya muncullah teori modernisasi baru. Bila dalam teori modernisasi klasik, teori dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam teori modernisasi baru
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah munculnya teori modernisasi?
2.      Bagaimana ciri – ciri teori modenisasi itu?
3.      Bagaimana aplikasi teori modernisasi dalam dunia peternakan?
4.      Apa dampak positif dan negative teori ini?
C.    TUJUAN PENULIASAN
1.      Mengetahui sejarah munculnya teori modernisasi
2.      Mengetahui ciri – ciri teori modenisasi
3.      Mengetahui aplikasi teori modernisasi dalam dunia peternakan
4.      Mengetahui dampak positif dan negative teori ini







BAB II
ISI
A.    SEJARAH TEORI MODERNISASI
Teori modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial barat terhadap apa yang terjadi di Dunia ketika stelah Perang Dunia II. Teori ini muncul segagai upaya Amerika untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini.
Di awal perumusannya tahun 1950-an, aliran modernisasi mencari bentuk teori dan mewarisi pemikiran-pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Teori evolusi dan fungsionalisme pada waktu itu dianggap mampu menjelaskan proses peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di Eropa Barat, selain juga di dukung oleh para pakar yang terdidik dalam alam pemikiran struktural-fungsionalisme.
Selain itu, teori modernisasi pun didukung oleh tokoh-tokoh seperti Neil Smelser dengan teori diferensiasi strukturalnya. Smelser beranggapan dengan proses modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang emnjalankan berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur agar dapat menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Pun dengan Rostow yang menyatakan bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi. Ia merumuskannya ke dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan dan berakhir dengan tahap konsumsi massal yang tinggi. Di samping itu, ada beberapa varian teori moodernisasi lain seperti Coleman dengan diferensiasi dan modernisasi politiknya, Harrod Domar yang menekankan penyediaan modal untuk investasi pembangunan, McClelland dengan teori Need for Achievement , Weber debgan “Etika Protestan”-nya, Hoselitz yang membahas faktor-faktor nonekonomi yang ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “faktor kondisi Lingkungan”, dan Inkeles yang menegmukakan ciri-ciri manusia modern.
Satu hal yang menonjol dari teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari masyarakat itu sendiri. Hal asil faktor  eksternal menjadi terabaikan. Teori modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara lain, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi polotik.
Karena berpatokan dengan perkembangan di Barat, Modernisasi diidentikkan dengan westernisasi.  Teori ini pun kurang mampu menjawab kegagalan penerapannya di Amerika Latin, tidak memperhatikan kondisi okyektif masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih berkembang Negara Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya muncullah teori modernisasi baru. Bila dalam teori modernisasi klasik, teori dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam teori modernisasi baru
B.     CIRI – CIRI TEORI MODERNISASI
Teori ini didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut modern dan apa yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol dari kemajuan, pemikiran yang rasional, cara kerja yang efisien, dan sebagainya. Masyarakat modern dianggap sebagai ciri dari masyarakat di negara-negara industri maju. Sebaliknya yang tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak effisien. Ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian di negara-negara miskin.
Teori modernisasi didasarkan pada faktor-faktor non material sebagai penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Faktor-faktor ini menjelma dalam alam psikologi individu, atau nilai-nilai kemasyarakatan yang menjadi orientasi penduduk dalam memberikan arah kepada tingkah-lakunya. Faktor-faktor non material atau dunia ide ini dianggap sebagai faktor yang mandiri, yang bisa dipengaruhi secara langsung melalui hubungan dunia ide dengan dunia ide yang lain. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu cara yang sangat penting untuk mengubah psikologi seseorang atau nilai-nilai budaya sebuah masyarakat. Dalam perkembangannya, memang ada teori yang juga menekankan aspek kondisi material, seperti misalnya teori Hoselitz (yang menekankan pembentukan lembaga-lembaga yang menunjang proses modernisasi), atau Inkeles dan Smith (yang menekankan lingkungan kerja sebagai cara untuk menciptakan manusia modern). Teori-teori seperti ini memang merupakan teori peralihan ke Teori Struktural, meskipun persoalan yang dibahas berlainan.
Teori modernisasi biasanya bersifat a-historis. Hukum-hukumnya sering dianggap berlaku secara universal. Dia dapat diberlakukan tanpa memperhatikan faktor waktu ataupun faktor tempat. Misalnya tentang prisnsip rasionalitas atau effisiensi. Ada kecenderungan dari teori-teori ini untuk beranggapan bahwa teori ini dapat diberlakukan kapan saja dan dimana saja. Konteks masyarakat dan perkembangan masyarakat tersebut sepanjang sejarah kurang mendapat perhatian. Ada anggapan bahwa masyarakat bergerak secara garis lurus atau unilinear , dari sesuatu yang irrasional menjadi rasional. Misalnya, dari masyarakat tradsional menjadi masyarakat modern. Gejala ini dianggap sebagai suatu yang universal, yang berlaku di masyarakat manapun, pada segala waktu. Masyarakat yang belum modern adalah masyarakat yang terbelakang, sesuai dengan perkembangan dalam garis lurus tersebut. Pada saatnya masyarakat ini akan menjadi modern seperti yang dialami oleh negara-negara Eropa.
Dengan demikian, faktor-faktor yang mendorong atau menghambat pembangunan harus dicari di dalam negara-negara itu sendiri, bukan diluar. Misalnya, kurangnya pendidikan pada pada sebagian besar penduduknya, adanya nilai-nilai lokal yang kurang menghargai kekayaan material, dan sebagainya. Faktor-faktor ini adalah faktor internal.
C.    APLIKASI TEORI DI DUNIA PETERNAKAN
Dalam penerapan teori modernisasi ini, penulis dimakalah ini membahas tentang peternakan sapi perah dalam pengembangannya antara tradisional dengan modernisasi.
Usaha peternakan sapi perah sebagai salah satu jenis usaha yang erat kaitannya dengan usaha masyarakat desa. Namun, sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai pola peternakan tradisional versus modernisasi peternakan, perlu di jelaskan sedikit arti kata tradisional dalam dunia peternakan. Tradisional berarti rendahnya tingkat adopsi teknologi modern yang ada dalam usaha peternakan atau tidak adanya pengakuan atas teknologi yang digunakan dalam kegiatan operasional. Mungkin mereka mempunyai alasan sederhana mengapa tidak menerima teknologi modern yang diperkenalkan oleh para akademisi dibidang yang berkompeten (misalnya, insinyur peternakan, master, doctoral bidang peternakan, Profesor). Mereka menganggap bahwa teori hanyalah pembicaraan yang membosankan dan memiliki banyak sekali perbedaan dengan aplikasi sebenarnya di lapangan. Mungkin pula mereka lebih mengakui anggapan seperti ini “kondisi terkadang memaksa kita untuk memperpanjang masa adopsi terknologi modern yang sesuai dengan tuntutan intensitas dan kualifikasi peternakan. Padahal sebagai peternak, adopsi secara praktis adalah cara terbaik buat kami”. Tradisionalisme ini pula yang telah membatasi peternak dalam mengembangkan pola peternakan mereka. Sehingga kemajuan usaha peternakan tradisional ini seakan diam di tempat. Pernyataan tersebut dikondisikan berdasarkan sudut peningkatan jumlah populasi, tingkat produksi, dan yield milk.
Mereka tetap berada dalam lingkungan persaingan usaha karena anggapan mereka peternakan tradisional masih cukup menguntungkan dengan prospek yang menjanjikan. Para peternak merasa sangat yakin sekali bahwa ternak sehat berarti mereka juga ikut sehat. Ketangguhan tradisionalisme dalam bersaing dengan modernisasi menjadikan pola ini meregenerasi. Dikatakan tangguh alasannya bahwa peternakan tradisional tidak kenal dengan istilah gulung tikar.
Pola tradisional yang ada dalam usaha peternakan sapi perah membuat komunitas peternak (producers) selalu merasa berada pada level paling bawah dalam ruang lingkup tingkatan usaha peternakan. Producers adalah istilah yang patut pula mereka miliki karena alasan tersebut di atas. Kesederhanaan yang mereka miliki saat ini cenderung mengarah pada tradisi (regenerasi) dengan dunia peternakan masa lalu. Kesederhanaan tersebut terlihat dari sistem ataupun pola yang ada dan masih tetap dipertahankan sebagai bentuk livestock culture yang sudah ada sejak lama atau dengan kata lain regenerasi usaha peternakan tetap konstant. Padahal kalau kita selami lebih dalam komunitas ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan perekonomian secara intern maupun extern.
Kekuatan ekonomi secara intern dapat dilihat dari kemampuan para peternak dalam mempertahankan tradisi maupun sarana prasarana peternakan yang mereka miliki dan mereka gunakan. Hasil dari penggunaan kesederhanaan sarana dan prasarana inilah yang memberikan warna intern dalam pola kesederhanaan mereka untuk mewujudkan kebahagiaan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Itu semua terjadi sudah sejak lama. Namun pada dasarnya tradisi itu masih berlaku dikalangan mereka sampai dengan sekarang. Produksi ternak yang mereka kelola tentu saja bisa dikatakan sebagian besar adalah mata pencaharian pokok keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga sendiri akan produksi ternak mereka sering kali sudah dalam bentuk perubahan bentuk hasil (product) yaitu berupa finansial yang memang dibutuhkan oleh keluarga. Artinya produksi yang dihasilkan oleh usaha mereka tersebut tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan keluarga dalam bentuk hasil utama dari produksi ternak, tapi cenderung produksi ternak-ternak yang mereka kelola memberikan kontribusi sangat dominan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat luas. Dalam artian bahwa peternakan yang mereka pertahankan dan kelola masih tidak jauh berbeda dengan modernisasi peternakan yang sedang tumbuh sekarang. Kalau dilihat dari tujuan produksi ternak, sebenarnya perbedaannya ada pada penggunaan alat dan sistem peternakan yang dikelola. Jadi hasil produksi peternakan tradisional ini dapat kita jabarkan sebagai bentuk extern. 
Intensifikasi usaha peternakan sapi perah secara tradisional tidak perlu kita hanya menutup sebelah mata atau berpangku sebelah tangan, seolah kita merasa bukan dari sebuah komunitas masyarakat peternak. Padahal mungkin saja kita adalah salah seorang dari konsumen. Konsumen atau costumer berarti peranan kita adalah menyambungkan mata rantai komunitas tersebut jangan sampai terputus. Dapat dilakukan melalui sumbangan-sumbangan pemikiran yang berwawasan developed profesionalisme. Semua itu adalah bagian sumbangan yang sangat diharapkan sekali dalam membangun dan memperbaiki citra peternak tradisional yang ada di negara kita ini.
Antusiasme peternak untuk memajukan usaha peternakan sapi perahnya adalah bagian mata rantai utama yang harus mendapat perhatian dari kita sebagai profesionalis muda. Kontribusi guna pencapaian komplektisitas usahanya itu semakin sangat diperlukan agar mampu mendorong peningkatan pola pikir komunitas tersebut agar menjadi komunitas yang tahan banting (mampu bersaing dengan komunitas peternak luar). Walaupun peternakan tradisional yang ada di negara kita hanya mengandalkan kesederhanaan, namun hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang dapat merendahkan citra. Dengan kesederhanaan peternak tidak perlu merasa khawatir dalam mengembangkan peternakannya. Semakin lama pasti akan menemukan beribu pengalaman. Alasannya, butuh tameng berharga dalam mengatasi berbagai masalah yang ada dalam peternakannya. Dari yang saya lihat bahwa peternakan tradisional itu bukanlah peternakan rendahan tapi cenderung peternakan yang mempertahankan pola peternakan tetuanya (sistem regenerasi).
Yield atau hasil yang didapatkan-pun tentunya tidak lebih besar dibandingkan dengan yield peternakan modern saat ini. Tetapi, jika kita pantau dan dilihat dari dekat peternakan tradisional itu memiliki keistimewaan efek komponen yield yang sangat rendah sekali terhadap konsumen. Misalnya, dengan pola peternakan tradisional sudah tentu penggunaan bahan tambahan dalam usaha peningkatan produksi jarang atau sama sekali tidak pernah digunakan, jelas sekali hal inilah yang membuat perbedaan dengan pola peternakan modern. Dalam pola peternakan modern antusias peternak untuk meningkatkan yield menjadi terlihat jelas. Bukan berarti mau memberikan kritikan terhadap modernisasi peternakan, tapi pada saat kita lengah dan membiarkan modernisasi itu menyerang, maka pada saat itu pula aturan-aturan baru maupun cara meningkatkan yield akan menjadi bagian terpenting bagi peternak. Untuk itu, kita harus berani memberikan kritikan baru dengan prinsip-prinsip kebenaran tentunya dapat memberikan kontribusi istimewa bagi kemajuan kedua pola peternakan yang ada. Sekali lagi secara pribadi pantas menanyakan kondisi sebenarnya tentang bagaimana yield terbentuk? Dan dapat dipastikan bahwa kita akan menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru pula dalam bentuk pertanyaan dengan penjelasan hasil yang mengkritisi realitas peternakan tradisional versus peternakan modern. Coba tanyakan pada diri sendiri mengapa saya begitu percaya akan modernisasi peternakan saat ini, padahal seutuhnya sebagai professional muda dan konsumen sampai saat ini belum mempunyai andil di dalamnya? Saya berharap harus dapat memberikan analisis yang mudah dimengerti karena modernisasi peternakan yang terjadi, yaitu saat modernisasi memang telah menelanjangi tradisionalisme yang telah saya bangun entah sudah berapa tahun lamanya. Mungkin begitulah apabila kita mendengar celotehan singkat dari peternak yang menyadari bahwa produk atau yield milk peternakannya telah menyumbangkan sebagian dari awal kehancuran pola peternakan tradisional, padahal sebetulnya tidak perlu adanya imbas sebagai efek samping yang diperoleh oleh konsumen atau customer product peternakan yang terlanjur telah mengadopsi modernisasi.
Kenapa kita harus mempertahankan komunitas usaha peternakan sapi perah tradisional yang ada di negara kita atau dengan kata lain untuk wilayah-wilayah tertentu yang telah terlanjur melekat dengan citra peternakan sapi perahnya? Kita perlu memberikan jawaban yang pasti dengan mengkritisi citra peternakan tradisional itu sebenarnya seperti apa dan bagaimana seharusnya kalau kita ingin menjadikan peternakan tradisional sebagai pendukung utama perekonomian negara? Tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan pengelolaan yang terarah dalam peningkatan komplektisitas peternakan sapi perah dapat menjadi sumber utama peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan (komunitas peternak), dan perbaikan komunitas bisnis perdagangan produk olahan yang bersumber dari sapi perah.
Pada saat kita sadar bahwa sebagai customer dalam hal ini sebagai konsumen maka komplektisitas usaha ini sepertinya telah menjadi otak yang benar-benar harus dimatangkan. Mengapa demikian? Mari kita perjelas sedikit saja, terutama mengenai “tubuh”, salah satunya yang sering kali menjadi pokok penunjang gerak tubuh, agar kita tetap berjalan sebagaimana manusia sehat, yaitu pertulangan sehat. Kesehatan menjadi dambaan setiap insane, karena itu nutrisi dan olah raga yang seimbang akan menjadi bagian sangat penting guna mendukung proses-proses yang terjadi dalam tubuh dan secara nyata dalam aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Kenapa pertulangan kita sehat dan kuat, apakah yakin bahwa kita tidak pernah sama sekali mengkonsumsi susu? Jawabannya cukup hanya anda saja yang tahu. Kalau saya berpendapat, bahwa produk peternakan juga ada didalamnya, yaitu susu. Pengecualiannya adalah bayi, tapi untuk sekarang ini-pun konsumsi susu sapi tidak mutlak bagi orang tua saja, namun bagi bayi-pun susu sapi sepertinya bukanlah hal yang aneh lagi (produk olahan susu). Dimana susu telah diproses sedemikian rupa guna memenuhi kebutuhan sang bayi seperti susu-susu yang telah melalui berbagai proses guna mempertahankan kualitas, kemudian susu tersebut disulap menjadi produk yang sangat menggeliatkan hati orang tua, melalui iming-iming label yang ada pada produk olahan susu, bahwa produk susu ini adalah produk yang tepat untuk memenuhi kebutuhan bayinya.
Seperti kebanyakan orang mengatakan bahwa susu yang sudah menjadi produk olahan susu adalah salah satu jenis sumber penyumbang nutrisi sebagai asupan nutrisi tambahan dari jenis makanan. Jelas tubuh kita membutuhkan nutrisi yang seimbang. Berarti sedikit banyaknya asupan produk susu ke dalam tubuh maka itulah salah satu bentuk ketergantungan kita terhadap komunitas peternakan. Jelas dan jelas!. Perlu kita sadari sebagian sumber kehidupan kita (sebagai seorang konsumen) akan sangat berkorelasi dengan nyawa komunitas peternak. Dan ketertarikan yang sangat besar terhadap salah satu produk peternakan bararti tidak bisa kita pungkiri lagi. Semuanya telah membuat kita terus bergairah dalam memberikan kejelasan prospek ke depan khususnya kondisi dan prioritas dunia peternakan melalui penciptaan kontinuitas konsumsi. Terlihat jelas bahwa inilah suatu mata rantai yang sangat baik bagi dunia peternakan karena semuanya itu telah mendapatkan keseimbangan diantara keduanya, yaitu komunitas peternak dengan komunitas konsumen. 
Semakin besarnya persaingan pasar yang kita ciptakan dengan peternakan luar menuntut kita harus dapat memberikan kontribusi yang sangat serius agar komplektisitas usaha ini menjadi lebih mantap. Sayang sekali hal tersebut terbuang begitu saja, karena objek yang dimiliki telah disia-siakan tanpa kemapanan kita untuk menciptakan sebuah komunitas intern professional dalam pengembangannya. Saya merasa sadar sekali bahwa wajah suram yang ada dalam komunitas peternakan kita menjadi kendala besar untuk mewujudkan persaingan yang mau tidak mau akan dihadapi pada masa-masa sekarang ini. “Tradisional vs modern” menjadi kata-kata yang sangat menyesakkan bagi peternak tradisional dan peternak modern.
Komunitas peternak sapi perah, sepertinya terus saja mencoba untuk meyakinkan dunia konsumen. Mereka berusaha dengan gigih agar dapat berperan dalam dunia nyata kehidupan manusia seiring dengan perkembangan maupun kemajuan zaman. Namun, dititik lain tidak sedikit pula bahwa konsumen-pun masih mengeluh, apa obat terbaik bagi tubuh komunitas peternak? Ini sepertinya sebuah pertanyaan segar agar mereka dapat menemukan sampai pada apa yang menjadi kontribusi dari usaha mereka bagi dunia sekitar. Sebagai upaya menjadikan komunitas yang memiliki nilai luar biasa. Belum adanya komunitas tersebut untuk meyakinkan konsumen dengan kriteria standarisasi persusuan market dunia membuat mereka merasa gerah terhadap pertanyaan tersebut. Saya pikir, keutamaan kita ialah mempertahankan kualitas produk. Karena kualitas akan  menjadi bagian terpenting dalam dunia market. Sedangkan bila bicara masalah kuantitas, bagi kita sepertinya itu bukanlah menjadi masalah paling urgent.
Instansi pengolahan produk peternakan sangat menutut sekali agar komplektisitas susu murni yang dihasilkan oleh peternakan tradisional mampu meyakinkan dunia market. Komplektisitas disini menjadi bagian konkret dari upaya improvement on dairy productivity. Instansi pengolahan produk susu tidak perlu bekerja keras melakukan perbaikan mutu susu bagi peternakan modern, karena mereka tahu kualitas susu yang dihasilkan oleh peternakan modern jelas telah mengarah pada peningkatan mutu. Ini jelas berbeda dengan peternakan tradisional yang ada di negara kita.
Saat ini kualitas produk (susu murni ataupun produk olahan susu) yang kita miliki bukanlah menjadi hal baru bagi dunia market. Fokus yang terjadi karena rendahnya kualitas persusuan nasional sepertinya membuat antusias para konsumen menjadi berkurang. Nyata sekali bahwa kualitas memegang peranan pokok dalam pola persaingan bisnis yang ada saat ini, baik dibidang usaha pengembangan peternakannya maupun dibidang hasil peternakan (misal susu murni cair, dan produk olahan susu). Semua itu tercipta dan terbukti karena semakin banyaknya produk-produk luar yang mulai merambah market persusuan Indonesia, mereka tidak segan-segan melampirkan iming-iming luar biasa (promosi) yang benar-benar dapat meyakinkan konsumen. Sistem promosi tersebut menyiratkan pada kita bahwa inilah wajah industri peternakan atau wajah peternakan yang ada di negara ini, ketinggalan sudah bukan menjadi masalah baru.
Solusi dari persaingan pola-pola peternakan yang dimiliki saat ini mencitrakan bahwa keuletan dan ketangguhan para peternak perlu diciptakan guna menekan persaingan yang membuat peternakan tradisional selalu berada di bawah. Memang menjadi hal tersulit bagi peternak maupun pelaku bisnis untuk mengangkat citra komunitas peternakan tradisional, karena kenyataannya inilah peternakan tradisional yang kita miliki.
Jadi, penyelamatan dunia peternakan akan semakin terbuka apabila kita memang memiliki kekuatan dan keuletan untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri. Itulah sebenarnya sebagian dari cara kita untuk addeted and complex process agar diperoleh kemajuan dalam upaya pengembangan usaha peternakan. Kemudian dengan sendirinya titik terang akan berada dibagian usaha peternakan tradisional. Sebagai seorang insinyur tentu saja tidak mengharapkan dunia peternakan yang ada di negara ini menjadi bagian yang sangat terpuruk, seakan-akan konsumen tidak pernah merasa adanya kaitan dengan hal tersebut. Saya pikir kita semua berharap sekali bahwa jangan sampai ada komunitas peternakan sapi perah yang beralih profesi. Karena beralihnya profesi berarti beralih pula kemampuan dan regenerasi usaha yang dimiliki. Kenapa demikian? Karena untuk membangun keahlian baru akan menjadi sangat sulit apalagi semua itu bisa menurunkan minat dan kemampuan terhadap usaha peternakannya sendiri.
D.    DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF TEORI MODERNISASI

v  Dampak Positif

a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

v  Dampak Negatif

Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Teori modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial barat terhadap apa yang terjadi di Dunia ketika stelah Perang Dunia II. Teori ini muncul segagai upaya Amerika untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini. Teori ini dapat melahirkn dampak postif dan negative dalam pengaplikasian di dalam dunia peternakan. Untuk dapat mengetahui dampak tersebut maka dari itu adanya perbandingan antara cara tradisional dan modernisasi dalam bidang peternakan.
B.     SARAN
Kami berharap selaku pemakalah tentang teori modernisasi agar pembaca dapat mengetahui aplikasi teori modernisasi dalam dunia peternakan dan mengetahui danpak positif dan negative teori ini.







DAFTAR PUSTAKA
Afand. 2009. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi dan Modernisasi             http://afand.abatasa.com/post/detail/2761/dampak-positif-dan          dampaknegatif--globalisasi-dan-modernisasi. Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
Anonim . 2012 . Modernisasi . http://id.wikipedia.org/wiki/Modernisasi . Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
Schoorl, J.W. 1980. “Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara       negara sedang Berkembang”. PT. Gramedia. Jakarta.
Singgih Ujianto. 2009.Teori Modernisasi dan Ketergantungan.      http://ujiantosinggih.com/ teoriteorisosial/teori-modernisasi - dan ketergantungan.html.  Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
Yudimasmi. 2008. Pola Peternakan Tradisional versus Modernisasi.
tradisional vs-modernisasi-peternakan-sapi-perah/. Diakses pada hari Sabtu, 21 April 2012.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wintrianto. 2010. Dampak Modernisasi Terhadap Masyarakat Pedesaan.            http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/08/dampak-modernisasi-terhadap    masyarakat-pedesaan/comment-page-1/. Diakses pada hari Sabtu, 21 April     2012.







Read More ->>

My Blog List

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.